Thursday, June 24, 2010

Blogger Buzz: Blogger integrates with Amazon Associates

Blogger Buzz: Blogger integrates with Amazon Associates

Urgensi dan Kewajiban Mendakwahkan Islam sebagai Mabda

Kewajiban Berdakwah

Dakwah adalah kewajiban yang tidak bisa dipungkiri. Sebagai muslim, baik laki-laki maupun perempuan, kita masing-masing wajib berdakwah. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَال َﺇِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?"(QS. Fushilat 33).

Seruan dia atas adalah seruan untuk Rasulullah saw. Dalam kaidah ushul, seruan untuk Rasul adalah seruan untuk umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan kepada beliau.

Bahkan Al Quran mewajibkan dakwah itu tidak hanya kepada individu, juga kepada kelompok. Al Quran menyebut orang-orang mukmin laki-laki perempuan saling tolong dalam dakwah. Allah SWT berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. At Taubah 71).

Allah menjanjikan pahala berlipatganda kepada orang yang berdakwah, sebagaimana hadist:

Siapa saja yang menyeru manusia kepada petunjuk (Islam),dia pasti akan dapat pahala yang diperoleh orang yang mengikuti petunjuk itu tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya.(HR Ahmad, Muslim,Abu Dawud,At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Dan Allah mengingatkan manusia akan bahaya diabaikannya dakwah:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.(QS. Al Anfal 25).

Rasul pun memberikan peringatan kepada kita. Beliau saw. bersabda:

لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ عَلَيْكُمْ شِرَارُكُمْ فَيَدْعُوْا خِيَارُكُمْ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَهُمْ

"Hendaklah kalian benar-benar menyuruh perbuatan yang ma’ruf dan benar-benar melarang perbuatan yang munkar, atau (bila tidak kalian lakukan) Allah akan menjadikan orang-orang jahat di antara kalian berkuasa atas kalian semua (yang akibatnya banyak sekali kejahatan dan kemungkaran diperbuatnya) lalu orang-orang yang baik di antara kalian berdoa (agar kejahatan dan kemungkaran itu hilang) maka doa mereka (orang-orang baik itu) tidak diterima” (HR. Al Bazzar dan At Thabrani).

Demikianlah tidak ada keraguan lagi akan wajibnya dakwah bagi muslim maupun muslimah. Kewajiban untuk melakukan satu aktivitas tidak bisa diganti dengan kewajiban melaksanakan aktivitas lain. Kewajiban shalat misalnya, tidak jadi hilang ketika seseorang menjalankan shaum Ramadhan. Bagi seorang muslim, kewajiban mencari nafkah, tidaklah menghilangkan kewajibannya berdakwah. Atau sebaliknya, kewajiban dakwah tidaklah menghilangkan kewajibannya mencari nafkah.Demikian juga, bagi seorang muslimah, kewajiban berdakwah tidak akan bisa digantikan oleh kewajibannya melayani suami, mengasuh dan mendidik anak, serta mengatur rumah tangganya. Untuk itulah muslimah dituntuk untuk bisa mengatur waktu dengan baik.

Urgensi Mendakwahkan Islam Kaffah

Kondisi umat Islam saat ini sangatlah buruk. Tidak ada Negara Islam yang menerapkan Islam secara kaffah di negeri-negeri Islam dan mendakwahkan Islam ke seluruh dunia, serta menjaga Islam dan kaum muslimin di berbagai negeri. Banyak sekali hukum syariah terabaikan. Akibatnya keadilan dan kesejahteraan hilang dari muka bumi dan umat hidup dalam kungkungan tangan-tangan zalim. Kesengsaraan dan penderitaan pun menimpa umat dari hari ke hari. Kemiskinan, kebodohan, buruknya kesehatan, kelaparan, mahalnya harga-harga, rendahnya nilai mata uang, buruknya fasilitas umum, susahnya pekerjaan, merosotnya moral, mahalnya pendidikan, mahalnya keamanan, kriminalitas yang merajalela, dan lain sebagainya menjadi fenomena biasa sehari-hari. Berapapun usaha pendidikan, sekolah, rumah sakit, dan yayasan-yayasan sosial yang dilakukan kaum muslimin tidak mampu menghapus fenomena tersebut. Bahkan cenderung usaha amal kaum muslimin ini menjadi kontra produktif lantaran kekuarangan dana, sumber daya, dan pengelolaan yang kurang profesional. Sering kita dengar berita bahwa prestasi pendidikan yayasan Kristen/Katolik jauh di atas sekolah-sekolah islam, bahkan di atas sekolah-sekolah negeri. Waktu, pikiran, tenaga, dan dana umat ini habis untuk apa yang disebut usaha amal umat islam, tetapi justru hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Demikian juga berbagai dakwah akhlakiyah dan ruhiyah yang dideru-derukan kaum muslimin dari beberapa dekade lalu, hasilnya kemerosotan ahlak terus terjadi. Fakta umat semakin materialistik, hedonis, bahkan jauh dari nilai-nilai moral Islam. Korupsi merajalela, suap-menyuap sudah jadi “prosedur” umat Islam. Pornografi menu sehari-hari media massa, bahkan acara buka aurat menu sehari-hari di mall, kantor-kantor, pasar-pasar, dan jalan-jalan raya. Ilmu agama dan guru sudah tidak dihormati. Paling hanya sebagai pelengkap acara seremonial, yakni tukang doa! Pelanggaran berbagai hukum syara’ hampir terjadi untuk seluruh aspek kehidupan. Pesan agama dianggap sebagai pesan moral yang tidak mengikat. Tokoh-tokoh agama banyak yang menjadi sekrup-sekrup bagi kokohnya sistemyang zalim, mereka justru diperalat oleh rezim sekular untuk membungkam masyarakat atas berbagai kebijakan sekular yang bertentangan dengan Islam. Misalnya saja, sekumpulan ulama pada masa orde baru pernah dikumpulkan di pendopo suatu kabupaten untuk minum susu dari pabrik anu yang ditengarai mengandung lemak babi. Lalu disyuting dan disiarkan bahwa susu merk anu adalah halal dengan bukti para “ulama” telah meminumnya! Ada juga “ulama” (yang telah terbeli) yang memfatwakan bahwa lokalisasi perjudian dan WTS adalah kebijakan yang bagus untuk melokalisir bahaya kedua perkara itu. Dan masih banyak lagi. Inilah bencana dan awal dari bencana. Maka disinilah urgensi dakwah Islam kaffah.

Kita tidak bisa lagi menunda-nunda mendakwahkan Islam kaffah. Yaitu mengokohkan aqidah umat sehingga mereka hanya mau menyelesaikan semua persoalan hidupnya dengan solusi dari syariat Islam. Dengan demikian mereka akan tergerak untuk mempelajari dan mengamalkan solusi Islam baik untuk menyelesaikan persoalan individu mapun persoalan keluarga mereka. Mereka juga akan tergerak untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan solusi Islam. Ketika solusi itu belum bisa terlaksana karena belum tegaknya kekuasaan yang menerapkan aturan hidup Islam, mereka semakin giat mendakwahkan Islam kaffah sehingga akan semakin banyak orang yang akan menuntuk ditegakkannya aturan hidup Islam dalam kehidupan bernegara. InsyaAllah kondisi kaum muslimin akan berubah ketika mereka sudah berupaya menerapkan Islam kaffah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. Allah berfirman:

ﻢﻬﺴﻔﻧ ﺎﺒ ﺎﻤ ﺍﻮﺮﻴﻐﻴ ﻰﺘﺣ ﻢﻭﻗﺑ ﺎﻣ ﺭﻴﻐﻴ ﻻ ﷲﺍﻥﺇ

Artinya: “...Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan satu kaum sampai mereka megubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...” (QS Ar-Ra’d:11).

Masihkah kita berdiam diri ?

ISLAM KAFFAH

ﻥﻳﺑﻤﻮﺪﻋﻢﻜﻠ ﻪﻨﺇ ﻦﺎﻁﻳﺷﻠﺍ ﺕﺍﻭﻃﺨ ﺍﻭﻌﺒﺗﺗ ﻻﻭ ﺔﻔﺎﻜ ﻢﻠﺴﻠﺍ ﻲﻔ ﺍﻮﻟﺧﺪﺍ ﺍﻮﻧﻤﺁ ﻦﻳﻨﻠﺍ ﺍﻬﻳﺍ ﺎﻳ

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata.” (QS. al-Baqarah : 208)

Allah mewajibkan orang yang beriman untuk mengimani Islam secara keseluruhan (kaffah), tanpa pengecualian, dan mengamalkan syariat Islam secara utuh tanpa mengikuti syariat (aturan hidup) lain. Mengikuti sesuatu di luar Islam disetarakan dengan mengikuti langkah setan yang dimurkai Allah, yang merupakan musuh manusia yang nyata.

Ruang Lingkup Ajaran Islam

Islam adalah diin yang paripurna, mengatur kehidupan manusia dalam tiap bagiannya. Islam mengatur hubungan diri manusia dengan: penciptanya (aqidah dan ibadah mahdloh), dirinya sendiri (ahlaq, makanan, pakaian), dan dengan sesama manusia (muamalah dan uqubat). Termasuk dalam hukum-hukum muamalah adalah hukum dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, dan sosial. Jadi, setelah mengimani aqidah Islam , seorang muslim haruslah mengimani dan mengamalkan keseluruhan syariat Islam.


Islam mengatur hubungan seorang manusia dengan penciptanya. Ketika seorang manusia mencari tahu bagaimana sebenarnya penciptanya, dan bagaimana seharusnya ia menempatkan diri di hadapan penciptanya maka Islam menjelaskan bahwa Allahlah penciptanya, bahwa manusia harus menyembah hanya kepadanya, dan tidak mensekutukan Allah dengan apa pun.

Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia (QS. Al-Ikhlas : 1-4)

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun (QS An-Nissa: 36)

Ketika muncul keinginan manusia untuk mensucikan Allah, Islam tidak menyerahkan cara mensucikan Allah kepada aqal manusia, tetapi dituntun dalam hukum-hukum ibadah mahdloh, misalnya:

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah sholat. (Al-Ankabut : 45).

Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Ketika manusia harus menentukan bagaimana ia harus mengatur pakaiannya, Islam di antaranya menetapkan kewajiban mengenakan jilbab ketika seorang seorang wanita harus keluar rumah.

Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (QS. Al-Ahzab : 59)

Ketika manusia harus menentukan bagaimana ia makan, Islam mengharuskannya makan makanan yang halal.

Makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu (QS. Al-Maidah : 88)

Islam juga mengatur sifat-sifat mulia apa saja yang yang dimiliki seseorang dalam dirinya, serta sifat apa saja yang harus ditinggalkan manusia. Ini diatur dalam hukum-hukum ahlaq, contohnya:

Bersabarlah dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah ... (QS. An-Nahl : 127).

Ketika manusia harus bermuamalah dengan manusia lain juga kita dapati aturan-aturan yang digariskan Islam dalam hal itu. Di bidang pemerintahan misalnya, kita temukan adanya kewajiban kaum muslimin membaiat seorang khalifah.

Siapa saja yang mati, sedang di atas pundaknya tidak ada bai’at (ketaatan kepada seorang khalifah), maka matinya bagaikan mati jahiliyah. (Hadist shohih Muslim).

Di bidang ekonomi, contohnya ada keharaman riba.

Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila...(QS. Al-Baqarah : 275).

Di bidang sosial, contohnya kita temukan keharaman mendekati zina.

Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk. (QS. Al-Isra : 32).

Demikianlah contoh nash-nash dalam aqidah dan hukum. Tidak ada keraguan bagi orang-orang yang mempelajari Al-Quran dan hadist bahwa ajaran Islam meliputi segala aspek kehidupan manusia, dan orang beriman terikat kepada seluruh hukum itu, tanpa kecualinya.

Pilar Tegaknya Islam Kaffah

Realisasi Islam kaffah mutlak membutuhkan tiga pilar, yaitu:

1. Ketaqwaan individu

2. Kontrol sosial (amar ma’ruf nahi munkar)

3. Penegakan aturan/hukum oleh negara.

Tanpa adanya salah satu pilar, Islam kaffah tidak akan ada. Yang ada hanyalah masuknya orang yang beriman kepada sebagian Islam, bukan keseluruhan Islam. Selain melanggar perintah Allah untuk masuk kepada Islam kaffah, tidak terealisasinya salah satu pilar akan menyebabkan manusia sulit bahkan sampai tidak bisa menyelesaikan problemnya di dunia.

Orang beriman menegakkan shalat karena ketaqwaannya kepada Allah. Lalu bagaimana menghadapi masalah ketika ada orang beriman yang tidak sholat? Orang-orang beriman di sekitarnya menasehatinya atau mengajarinya shalat ketika ia belum bisa shalat. Lalu bagaimana dengan masalah orang yang tidak mempan dinasehati ? Khalifah berhak menjatuhkan sanksi pidana kepada orang yang tidak shalat. Sanksi pidana tidak shalat berupa ta’zir, yaitu sanksi pidana yang ditentukan oleh Khalifah. Misalnya, orang yang tidak shalat sama sekali dikenakan hukuman penjara selama lima tahun. Sedangkan yang shalatnya “bolong-bolong”akan dikenakan hukuman penjara selama dua tahun. Bahkan bagi yang tetap tidak mau shalat karena menolak adanya kewajiban shalat dapat dihukum mati karena setara dengan murtad, menolak sesuatu yang qoth’iy (pasti) dalam Islam.

Seseorang tidak mengambil riba karena ketaqwaannya. Tetapi orang tidak bertaqwa pun akan terhindar dari riba pada saat negara melarang adanya praktek riba di tengah masyarakat dan memberi sanksi pidana bagi yang melakukannya. Dan sanksi ini akan efektif apabila ada kontrol sosial dari masyarakat. Sebanyak apa pun perangkat negara, tanpa bantuan anggota masyarakat, mereka tidak akan optimal mengontrol pelaksanaan suatu undang-undang di masyarakat. Bandingkanlah dengan kondisi saat ini, di mana justru orang sulit terhidar dari debunya riba. Karena umumnya gaji mereka merupakan hasil pembungaan dana abadi di bank.

Contoh lain adalah tentang larangan mendekati zina. Seorang muslim tidak mendekati zina karena ia bertaqwa kepada Allah. Sekarang kita sulit sekali menghilangkan masalah adanya perzinahan di sekitar kita. Anak yang lahir di luar nikah sudah menjadi hal yang umum saat ini. Ini tidak ada hukuman bagi orang yang berzina atas dasr suka sama suka. Yang dihukum hanyalah pemerkosaan, salah satu pihak tidak suka. Kontrol sosial masyarakat pun sangat lemah. Mereka menganggap anak-anak yang berpacaran, pergi dan menyepi berdua-duaan sebagai hal yang biasa dan mereka membiarkan hal itu terjadi.

Khatimah

Sudah begitu jelas perintah Allah untuk masuk kepada Islam secara kaffah. Dan jelas pula begitu banyak masalah tidak selesai karena tidak masuknya kita secara kaffah dalam Islam. Lalu apa lagi yang kita tunggu. Kenapa kita tidak segera mengupayakan terwujudnya Islam Kaffah?




ISLAM SEBAGAI MABDA’ (IDEOLOGI)

Pendahuluan

Disadari atau tidak, pengertian “agama” yang dipahami masyarakat luas saat ini adalah “agama” dalam pengertian Barat yang sekularistik. Agama dalam kamus Barat, hanya menyangkut hubungan privat antara manusia dengan Tuhan, dan tidak berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Kalaupun mengatur hubungan antar manusia, agama hanya mengatur pada aspek yang terbatas, misalnya ibadah ritual (worship) dan akhlak (moral), tidak mengatur seluruh aspek kehidupan secara total dan menyeluruh (Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : GIP, hal. 33).

Para intelektual Barat, dalam mendefinisikan agama, kadang dipengaruhi oleh latar belakang mereka yang beragama Kristen, di samping tentunya terpengaruh paham sekularisme. Misalnya, Emile Durkheim dalam bukunya Les Formes Elementaries de La Vie Religiese [Bentuk-Bentuk Elementer dalam Kehidupan Beragama], mengatakan :

“Religion is an interdependant whole composed of belief and rites (faith and practices) related to sacred thing, unites adherents in a single community known as Church.”

(Agama adalah suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling bersandar yang satu pada yang lain, terdiri dari kepercayaan dan ritus-ritus (keimanan dan ibadat) yang dihubungkan dengan hal yang suci, dan mengikat pengikutnya dalam suatu masyarakat yang disebut gereja) (Lihat HM. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1977, hal. 49)

Definisi Durkheim ini di samping mengartikan unsur agama secara sempit dan sekularistik, yakni hanya terdiri dari aqidah dan ibadah, juga ternyata sangat dipengaruhi oleh tempat di mana dia hidup, yaitu masyarakat Kristen.

Ketika umat Islam lalu mengambil makna “agama” yang sekularistik itu, lalu diterapkan pada Islam, yang terjadi adalah reduksi dan distorsi yang luar biasa menyimpang dari Islam. Akhirnya Islam dipahami seperti agama-agama lainnya yang a-politis dan impoten dalam mengatur kehidupan manusia. Padahal, sebagai agama sempurna, sesungguhnya Islam telah mengatur seluruh perikehidupan manusia tanpa kecuali. Tak ada satupun persoalan hidup yang terjadi pada manusia, kecuali Islam telah menjelaskan tata aturannya. Allah SWT berfirman :

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian...” (QS Al-Maa`idah : 3)

“Dan telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Kitab (Al Qur`an) menjelaskan segala sesuatu.” (QS An Nahl : 89)

Karenanya, jika kita membuka Al-Qur`an, akan kita dapati banyak ayat Al Qur`an menerangkan tentang berbagai aspek kehidupan manusia, tidak hanya ibadah dan akhlaq. Dalam bidang ekonomi, misalnya terdapat ayat :

"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS Al Baqarah : 275).

Dalam aspek politik/pemerintahan, misalnya terdapat ayat berikut :

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" (QS An Nisa : 59).

Dalam masalah sosial kemasyarakatan, misalnya terdapat ayat berikut :

"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..." (QS An Nisa : 11).

Tentang strategi militer, misalnya ada ayat :

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan (untuk berperang) yang dengan persiapan itu kamu menngentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengenalnya; sedang Allah mengetahuinya" (QS Al Anfal : 60)

Mengenai masalah pendidikan/ilmu pengetahuan, misalnya ada ayat berbunyi :

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS Al-Mujaadilah : 11).

Mengenai sanksi dan hukuman pidana, misalnya ada ayat :

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS Al Maidah : 38).

Itulah sebagian ayat-ayat Al Qur`an yang membuktikan bahwa Islam membahas dan mengatur segala aspek kehidupan manusia.

Walhasil, menganggap Islam sebagai “agama” dalam pengertian sekuler, akan menjadikan Islam tereduksi dan terdistorsi itu sendiri. Di sinilah, maka diperlukan upaya untuk mengembalikan Islam pada posisinya yang sebenarnya sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Digunakanlah kemudian istilah “ideologi” yang memiliki makna yang lebih luas daripada istilah “agama” menurut versi kaum sekuler yang kafir.

Oleh sebab itu, kata “ideologi” yang dirangkaikan dengan “Islam” ¾sehingga menjadi istilah “ideologi Islam”¾ sungguh bukanlah sekedar menarik secara leksikal dan gramatikal, namun memiliki substansi makna yang dalam dan fundamental. Dengan kata “ideologi Islam”, sebenarnya telah terjadi proses penghancuran (dekonstruksi) terhadap paham sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang telah membelenggu otak umat, sekaligus proses purifikasi dan revitalisasi terhadap Islam, yang dimaksudkan agar Islam kembali menempati posisinya yang layak yang telah ditetapkan Allah baginya. Yaitu sebagai penuntun dan pengatur segala urusan hidup manusia secara utuh dan menyeluruh (kaaffah). Allah SWT berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh.” (QS Al Baqarah : 208)

“Apakah kalian akan beriman dengan sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian (yang lainnya). Maka tidaklah balasan bagi orang yang mengerjakan yang demikian itu dari kalian, kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia. Dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dikembalikan kepada azab yang sangat berat.” (QS Al Baqarah : 85)

Definisi Ideologi

a. Berbagai Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:366), ideologi ialah : (1) kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, (2) cara berpikir seseorang atau suatu golongan, (3) paham, teori, dan tujuan yang berpadu merupakan suatu kesatuan program sosial politik. Menurut Steven Vago dalam Social Change (1989:90), ideologi ialah “a complex belief system that explains social arrangements and relationship.” (suatu sistem kepercayaan/keyakinans yang menerangkan pengaturan dan hubungan sosial). Dalam Collins Dictionary of Sociology (Jary, 1991:295), ideologi ialah “any system of ideas underlying and informing social and political action.” (suatu sistem pemikiran yang mengatur dan menginformasikan aksi sosial dan politik) (Haedar Nashir, 2001:30). Definisi-definisi ini menjelaskan pengertian umum ideologi.

Secara agak lebih jelas dan dalam, J. Riberu dkk dalam Menguak Mitos-Mitos Pembangunan : Telaah Kritis dan Etis (1986:4) menyatakan, ideologi adalah sistem paham atau seperangkat pemikiran yang menyeluruh, yang bercita-cita menjelaskan dunia dan sekaligus mengubahnya. J. Riberu dkk (1986:5) lalu menjelaskan lebih jauh unsur-unsur ideologi : (1) pandangan yang komprehensif tentang manusia, dunia, dan alam semesta dalam kehidupan, (2) rencana penataan sosial politik berdasarkan paham tersebut, (3) kesadaran dan pencanangan dalam bentuk perjuangan melakukan perubahan-perubahan berdasarkan paham dan rencana dari ideologi tersebut, (4) usaha mengarahkan masyarakat untuk menerima ideologi tersebut yang menuntut loyalitas dan keterlibatan para pengikutnya, dan (5) usaha memobilisasi seluas mungkin kader dan massa yang akan menjadi pendukung ideologi tersebut (Haedar Nashir, 2001:31).

b. Definisi Terpilih

Sebenarnya berbagai definisi di atas saling melengkapi. Dalam pengertian umumnya, akan ditemukan 2 (dua) unsur dasar sebuah ideologi, yaitu : (1) gagasan dasar, dan (2) gagasan cabang. Misalnya dalam definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada “kumpulan konsep bersistem”, yang menjadikan gagasan dasar. Sedang gagasan cabangnya, adalah pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Dalam definisi Steven Vago, ada system of belief (sistem keyakinan) sebagai gagasan dasar, dan social arrangements and relationship” (pengaturan dan hubungan sosial), sebagai gagasan cabangnya. Dalam definisi J. Riberu dkk, ada gagasan dasarnya, yaitu “pandangan yang komprehensif tentang manusia, dunia, dan alam semesta dalam kehidupan”, sedang unusr-unsur lainnya, merupakan gagasan-gagasan cabang yang berasal dari gagasan dasar tadi.

Dua unsur dasar ideologi itu sejalan dengan penjelasan M.M. Ismail dalam Al-Fikr Al-Islami (1958) tentang definisi ideologi. Menurutnya, ideologi (Arab : mabda`) adalah “al-fikru al-asasy tubna alaihi afkaar”, yakni pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran mendasar ini disebutnya aqidah, yang merupakan pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sedang pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun atas dasar aqidah tadi, merupakan peraturan hidup manusia (nizham) dalam segala aspeknya : politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan sebagainya. Gambar berikut menjelaskan pengertian ideologi secara umum menurut M.M. Ismail.


Gb. 1. Bagan Ideologi Dalam Pengertian Umum

Agar aqidah tersebut dapat melahirkan aneka peraturan hidup, ia haruslah bersifat aqliyah, atau dapat dikaji dan diperoleh berdasarkan suatu proses berpikir. Bukan diperoleh melalui jalan taklid tanpa melibatkan proses berpikir. Aqidah yang semacam ini, disebut aqidah aqliyah, yang darinya dapat dibangun pemikiran cabang tentang kehidupan.

Karena itu, dengan ungkapan yang lebih spesifik, Taqiyuddin An-Nabhani (2001) mendefinisikan ideologi sebagai “aqidah aqliyah yanbatsiqu ‘anha nizham”, atau aqidah aqliyah yang melahirkan nizham (peraturan hidup) bagi manusia.


Gb.2. Bagan Ideologi Dalam Pengertian Spesifik

Definisi ideologi sebagai “aqidah aqliyah yang melahirkan nizham” ini bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan berlaku untuk ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan sosialisme, dan dapat pula berlaku juga untuk Islam. Sebab Islam mempunyai sebuah aqidah aqliyah, yaitu Aqidah Islamiyah, dan mempunyai peraturan hidup (nizham) yang sempurna, yaitu Syariat Islam.

Taqiyuddin An-Nabhani (2001) menerangkan definisi ideologi ini dari sisi lain, yakni ideologi tersusun dari fikrah (ideas, thoughts) dan thariqah (method). Ideologi dari sisi ini ditinjau dari segi: Pertama, konsep/pemikiran murni --yang semata-mata merupakan penjelasan konseptual tanpa disertai penjelasan bagaimana metode menerapkan konsep itu dalam kenyataan— dan Kedua, metodologi yang menjelaskan bagaimana pemikiran/konsep itu diterapkan secara praktis. Tinjauan ideologi sebagai kesatuan fikrah-thariqah ini dimaksudkan untuk menerangkan bahwa thariqah adalah suatu keharusan agar fikrah dapat terwujud. Di samping itu, juga untuk menerangkan bahwa fikrah dan thariqah suatu ideologi adalah unik. Artinya, setiap ada fikrah dalam sebuah ideologi, pasti ada thariqah yang khas untuk menerapkan fikrah tersebut, yang berasal dari ideologi itu sendiri, bukan dari ideologi yang lain.

Menurut An-Nabhani, fikrah merupakan sekumpulan konsep/pemikiran yang terdiri dari dari dua unsur : (1) aqidah, yaitu pemikiran menyeluruh tentang alam semsta, manusia, dan kehidupan, dan (2) solusi terhadap masalah manusia. Sedang thariqah –yang merupakan metodologi penerapan ideologi secara operasional-praktis— terdiri dari : (1) penjelasan cara melaksanakan solusi terhadap masalah, (2) cara penyebarluasan ideologi, dan (3) cara pemeliharan aqidah. Jadi, ideologi ditinjau dari sisi ini adalah gabungan dari fikrah dan thariqah, sebagai satu kesatuan. (Taqiyyudin An Nabhani, 2001, Nizham Al Islam, hlm. 22-23). Bagan berikut menggambarkannya :


Gb. 3. Ideologi Tersusun Dari Fikrah dan Thariqah

Definisi ideologi yang telah diterangkan di atas bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan berlaku untuk ideologi-ideologi dunia seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Dan tentu, dapat berlaku juga untuk Islam. Sebab Islam memang mempunyai sebuah aqidah aqliyah, yaitu Aqidah Islamiyah, dan mempunyai peraturan hidup (nizham) yang sempurna, yaitu Syariat Islam.

Dengan demikian, tatkala kita menyebutkan istilah “ideologi Islam” sesungguhnya kita telah memelihara substansi Islam itu sendiri –yaitu Aqidah dan Syariah— tanpa mengurangi atau menambahinya sedikitpun. Aqidah dan Syariah-nya tetap itu-itu juga. Hanya saja, kita meletakkan keduanya dalam kerangka berpikir ideologis, untuk menghadapi situasi kontekstual umat saat ini, yang menganggap Islam sebagai “agama” dalam pengertian Barat yang sekuler.

Ideologi Islam, Ancaman?

Mungkin ada yang khawatir ketika Islam dijadikan ideologi, sehingga muncul pertanyaan,”Apakah ideologi Islam adalah sebuah ancaman ?” Jawabannya sangat tergantung dari cara pandang ideologis yang digunakan. Cara pandang ideologis, adalah cara pandang terhadap suatu fakta berdasarkan keyakinan tertentu pada sebuah ideologi.

Menurut cara pandang ideologi kapitalisme, Islam ideologi jelas merupakan ancaman baginya. Sebab ideologi kapitalisme bertumpu pada ide dasar sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan (fashl al din ‘an al hayah). Maka bagi ideologi kapitalisme, agama adalah masalah pribadi antara individu dengan tuhannya. Agama tidak dibenarkan turut campur dalam pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Karenanya, Islam dalam bentuk ideologi jelas merupakan ancaman terhadap eksistensi sekulerisme, dasar kapitalisme. Sebab Islam dalam bentuk ideologi berarti mengharuskan adanya peran agama (Islam) dalam seluruh tatanan aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tanpa kecuali.

Menghadapi ancaman ini, para penganut kapitalisme melakukan berbagai langkah, antara lain, melakukan manipulasi dengan menyebarkan opini bahwa Islam adalah agama, bukanlah ideologi. Islam diilusikan seperti agama Kristen atau Katolik yang harus terlepas dari kekuasaan dan pemerintahan. Memandang Islam sebagai ideologi, kata mereka, adalah suatu apologi yang muncul karena perasaan inferior di bawah dominasi dan imperialisme Barat. Dikatakan pula bahwa konsep kenegaraan dalam Islam itu sebenarnya tidak ada, karena dalam Al Qur`an tidak ada kata “dawlah” (negara). Jadi dalam persepsi para penganut kapitalisme, Islam ideologi itu mengada-ada dan hanya utopia.

Ancaman Islam ideologi juga dihadapi dengan penyebaran opini Islam “substantif” yang menyatakan bahwa Islam itu yang lebih penting adalah aspek substansinya (seperti keadilan, persamaan, persaudaraan, kesejahteraan) dan bukan aspek simbol atau legal-formalnya (penerapan hukum Islam apa adanya termasuk eksistensi negara Islam). Ide Islam “substantif” ini sebenarnya adalah pemerkosaan terhadap Islam, yakni menempatkan Islam secara paksa dalam kerangka ide pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme). Jelas ini sangat zalim dan tidak adil.

Mereka juga menyerang para aktivis harakah Islam yang menyerukan Islam ideologi sebagai “teroris”, “fundamentalis”, “ekstremis”, “radikalis”, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk menimbulkan kebencian masyarakat kepada para aktivis dakwah, sekaligus sebagai justifikasi atau landasan pengambilan tindakan penumpasan oleh para penguasa sekuler yang kejam. Penguasa

Para penganut kapitalisme juga berusaha berusaha membuktikan ancaman ideologi Islam dengan berbagai data dan bukti sejarah. Mereka sengaja menutupi prinsip bahwa Islam tidaklah bersumber dari peristiwa sejarah, melainkan bersumber dari nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka mereka mengeksploitir penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sejarah Islam, untuk membuktikan betapa buruk akibat yang terjadi kalau Islam memegang kekuasaan. Misalnya terbunuhnya tiga khalifah (Umar, Utsman, dan Ali) dari empat Khulafa`ur Rasyidin. Atau perilaku sebagian khalifah yang menyimpang dari Islam, seperti perilaku Sultan Muhammad III (1595-1603 M), pengganti Murad III, seorang khalifah dalam masa Utsmaniyah, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 9 orang dan menenggalamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi. (Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 155)

Benarkah Islam ideologi adalah sebuah ancaman ? Menurut Islam itu sendiri, jelas tidak. Bahkan ia adalah sebuah harapan, ketika saat ini umat Islam berada dalam ketertindasan akibat kapitalisme. Lebih dari itu, ideologi kapitalisme yang diterapkan kini bukan sekedar ancaman, tapi sudah menjadi bahaya nyata yang menyengsarakan umat Islam.

Islam ideologi adalah sebuah penegasan identitas, dan revitalisasi Islam yang mutlak adanya, setelah sebelumnya Islam mengalami reduksi hanya sebagai “agama” dalam pengertian Barat.

Jadi, dengan kata "ideologi islam”, sebenarnya dimaksudkan agar Islam kembali menempati posisinya yang layak yang telah ditetapkan Allah baginya. Yaitu sebagai. penuntun dan pengatur segala urusan hidup manusia secara utuh dan menyeluruh (kaaffah). Jelaslah, Islam ideologi adalah penegasan identitas yang justru menjadi tuntutan saat ini. Islam ideologi bukan ancaman bagi umat Islam.

Di samping itu, Islam ideologi justru menjadi harapan tatkala keadaan umat manusia menjadi sangat brengsek akibat pengaruh dan penerapan ideologi kapitalisme. Ideologi inilah yang harus bertanggung jawab terhadap berlangsungnya imperialisme dan kolonialisme terhadap dunia, termasuk Dunia Islam. Perancis misalnya menduduki dan menjajah Aljazair (1830), Tunisia (1881), Maroko (1912), dan Syam (1920). Sementara Inggris menjajah India (1857), Mesir (1882), Irak (1914), dan Palestina (1918). Kapitalisme harus memikul tanggung jawab pula terhadap lahirnya ideologi sosialisme, karena sosialisme adalah by product (efek samping) penerapan kapitalisme yang eksploitatif dan kejam di Eropa pada abad XVIII dan XIX. Kapitalisme pula yang harus bertanggung jawab terhadap korban Perang Dunia I dan II. Perang Dunia I (1914-1918) telah menelan korban jiwa tak kurang dari 21.000.000 orang. Perang Dunia II (1939-1945) menelan korban 35.513.877, di antaranya yang mati terbunuh sebanyak 8.543.515 orang. Pada hari keenam setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, korban yang tewas antara 210.000-240.000, belum terhitung yang luka atau cacat seumur hidup. (Lihat Abul Hasan Ali An Nadwi, Ma Dza Khasir Al ‘Alam bi Inhithat Al Muslimin)

Kapitalisme harus bertanggung jawab terhadap munculnya ketimpangan yang sangat parah antara negara-negara industri yang kapitalistik dengan negara-negara lain di dunia. Data menunjukkan bahwa negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia. (Lihat Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9)

Ringkas kata, yang menjadi ancaman nyata bagi umat manusia adalah ideologi kapitalisme yang sekuleristik itu, bukan ideologi Islam.

Jelaslah, tidak relevan menganggap Islam ideologi sebagai ancaman. Sebab Islam ideologi adalah Islam itu sendiri. Bagaimana mungkin kita menganggap kita adalah ancaman bagi kita sendiri ? Yang lebih relevan adalah membicarakan bahaya-bahaya kapitalisme. Karena sifatnya nyata, dan bukan lagi sekedar ancaman.

Maka orang yang menolak Islam sebagai ideologi sesungguhnya telah melakukan dua hal sekaligus, Pertama, menolak Islam itu sendiri, yang berarti juga menipu diri sendiri dan menipu umat Islam. Kedua, memberikan justifikasi terhadap berlakunya ideologi kapitalisme sekarang, yang berarti juga turut serta dalam upaya melanggengkan penindasan dan penderitaan umat manusia.

Ideologi Islam dan Konstelasi Politik Internasional

Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa penerapan ideologi Islam secara sempurna merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Masalah yang ada demikian bertumpuk, berjibun, dan seolah tak pernah berhenti mendera umat Islam. Masalah-masalah di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya telah membuat kita terpuruk dan tertindas. Kalaupun diselesaikan, pasti yang diterapkan adalah hukum-hukum yang jauh dari ketentuan wahyu Allah SWT, karena sistem kehidupan yang ada sekarang telah dicengkeram oleh sistem sekuler yang memisahkan agama dari arena kehidupan.

Dan penerapan ideologi Islam, mau tak mau membutuhkan negara sebagai institusi yang berdiri untuk menerapkan hukum-hukum syara’ sebagai solusi berbagai problematika umat. Sebab tanpa negara, sebuah ideologi pasti akan lumpuh dan tidak bermakna signifikan. Tanpa negara, sebuah ideologi hanya akan berupa mitos atau filsafat kosong yang menjadi penghuni otak belaka, tidak bisa diiimplementasikan secara konkret dalam realitas kehidupan manusia.

Dalam ideologi Islam, negara ini disebut dengan Khilafah atau Imamah, yang tak diragukan lagi kewajibannya dalam Islam. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 308 :

“Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib...”

Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah ¾termasuk juga Khawarij dan Mu’tazilah¾ tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.

Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan :

“Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji'ah, seluruh Syi'ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…”

Namun sayang, representasi ideologi Islam dalam bentuk sistem Khilafah ini telah musnah tahun 1924 di Turki. Apakah di tengah situasi kontemporer saat ini ideologi Islam masih punya peluang? Jika kita mencoba meneropong realitas kontemporer saat ini, ideologi Islam cukup berpeluang untuk tampil kembali dalam panggung politik tingkat dunia. Tengoklah, ideologi Sosialisme telah bangkrut pada awal dekade 90-an dengan runtuhnya Uni Soviet. Negara-negara yang mengklaim penganut Sosialisme, seperti RRC, akhirnya harus bertransformasi menjadi negara Kapitalis. Memang, saat ini masih ada segelintir pemuda/mahasiswa (muslim) yang bersemangat —tetapi bodoh terhadap Islam— yang getol dan keranjingan mempelajari Marxisme dan Komunisme, kemudian mempraktekkannya secara nyata dalam gerakan-gerakan yang tujuannya adalah menyulut kontradiksi dan konflik di antara komponen masyarakat, khususnya antara golongan borjuis dengan golongan proletar. Namun Insya Allah usaha mereka akan gagal. Dan kita tentu tidak boleh mendiamkan eksistensi Marxisme dan Komunisme ini, karena Marxisme dan Komunisme adalah suatu kekafiran yang wajib dihapuskan sampai ke akar-akarnya.

Adapun ideologi Kapitalisme, saat ini memang tengah berjaya dan terus berusaha melestarikan hegemoni dan dominasinya atas dunia. Amerika, Inggris, Perancis, dan negara-negara Barat yang kafir terus berusaha mengokohkannya cengkeramannya atas Dunia Islam untuk diinjak-injak, dieksploitir, dihisap kekayaan alamnya yang demikian kaya. Untuk itu mereka telah menyebarluaskan pemikiran-pemikiran kafir mereka seperti demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan politik pasar bebas (Lihat Abdul Qadim Zallum, Al Hamlah Al Amirikiyyah Lil Qadha` ‘Alal Islam). Mereka pun terus melancarkan fitnahan-fitnahan yang keji seperti tuduhan ekstrem dan fundamentalis terhadap kaum muslimin yang ingin secara tulus mengembalikan Islam ke dalam tahta kekuasaan. Sayang sekali, para penguasa di Dunia Islam telah memposisikan diri mereka sebagai bagian dari pihak Barat ini. Mereka menjadi budak-budak yang selalu tunduk, patuh, bertakbir, dan bersujud kepada majikan-majikan mereka, yakni kaum penjajah yang kafir itu. Lihatlah, alih-alih menentang dan melawan, mereka malah mendatangkan IMF, Bank Dunia, dan lembaga-lembaga internasional lainnya, lalu mengemis-ngemis, meratap, dan menghiba kepada mereka tanpa malu kepada rakyatnya, serta pasrah begitu saja terhadap instruksi-instruksi mereka untuk menjarah atau merampok harta kekayaan umat yang seharusnya dijaga dengan penuh amanah dan tanggung jawab.

Namun demikian, sebenarnya tanda-tanda kelapukan dan kehancuran Kapitalisme sudah mulai nampak. Protes-protes terhadap WTO di Seattle (AS), lalu protes terhadap IMF dan Bank Dunia di Davos (Swiss) dan Washington belakangan ini, menunjukkan bahwa Kapitalisme telah mulai diragukan dan dibenci bahkan oleh para penganutnya sendiri. Geliat Dunia Ketiga untuk menentang dominasi Barat pun nampak semakin mengental tatkala dalam forum negara-negara G-77 di Havana (Kuba) Fidel Castro menyerukan,”Bubarkan IMF !”

Karena itulah, jika Sosialisme telah gagal, demikian pula Kapitalisme ¾yang akan segera hancur, Insya Allah¾ maka kemana lagi umat manusia akan berharap kalau bukan kepada ideologi Islam? Bukankah sudah cukup lama umat manusia menderita dan tersiksa di bawah tindasan ideologi-ideologi kafir seperti Sosialisme dan Kapitalisme? Bukankah ideologi-ideologi kafir tak mampu memberikan apa-apa kepada umat manusia selain penderitaan, kemelaratan, kebejatan moral, dan segala kesulitan hidup yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan ini?

Penutup

Sesungguhnya ideologi Islam harus segera tampil di panggung kehidupan manusia untuk menyelamatkan umat manusia dari jurang penderitaan dan gelimang kesengsaraan yang nyaris tanpa batas. Kemunculannya adalah suatu keniscayaan, karena kemenangan Islam telah menjadi janji Allah dan Rasul-Nya kepada para hamba-Nya yang beriman dan ikhlas beramal shaleh.

Namun demikian, umat Islam tidak berarti hanya bertopang dagu dan ongkang-ongkang kaki menunggu kemenangan Islam. Justru mereka wajib berjuang bahu membahu satu sama lain, dengan mengerahkan segala daya dan upaya, agar ideologi-ideologi kafir segera punah dari muka bumi dan agar ideologi Islam kembali meraih keunggulan dan kejayaan untuk tampil di tengah kehidupan umat manusia, walau pun orang-orang kafir membencinya.

Allah SWT berfirman :

“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka. Dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS Ash Shaff : 8). [ ]